Bersahabat dengan Alam
Oleh: Andri Saputra Nasution
Bukan hal
tabu lagi bagi kita. Banjir, tanah longsor, gempa bumi, hingga musibah tsunami
yang namanya
berasal dari bahasa Jepang itupun sudah tidak asing lagi. Kita semua menyebutnya
bencana, musibah atau cobaan yang datangnya dari Tuhan.
Bencana atau
musibah bisa datang kapan saja dan dimana saja. Biasanya bencana datang
dikarenakan ada penyebab yang ‘memanggilnya’. Longsor misalnya, Bencana
runtuhnya tanah dan kemudian menimpa rumah-rumah serta manusia itu biasanya
datang akibat pengerukan tanah yang berlebihan. Pengerukan tanah dalam jumlah
besar-besaran yang kemudian
dimanfaatkan untuk pembuatan berbagai macam infrastruktur.
Lain lagi
dengan banjir. Musibah meluapnya air dalam jumlah yang banyak ini juga datang
dikarenakan ada penyebabnya. Misalnya, pembuangan sampah sembarangan hingga menghambat laju air, penebangan
pohon secara liar di hutan-hutan dan berbagai macam penyebab lainnya.
Dampak Sebuah Bencana atau Musibah
Jika bencana terjadi, sudah
pasti hanya kesedihan dan penyesalan yang akan datang. Banyak korban akan
berjatuhan, puluhan bahkan ratusan rumah hancur lebur, akan banyak istri yang
menjadi janda, banyak suami yang menjadi duda, banyak anak yang menjadi yatim
piatu dan akan banyak anak – anak yang terancam tidak dapat melanjutkan sekolah
karena bangunan sekolahnya rusak, akan banyak warga yang jatuh miskin karna
kehilangan harta bendanya, seorang bapak yang terancam tidak bisa menafkahi
keluarganya lagi, dan masih banyak lagi.
Harian lokal
Serambi Indonesia, Rabu, 23 Oktober 2013, mengisahkan dampak sejumlah bencana
yang terjadi di Tangse. Daerah yang terkenal dengan produksi padi dan gunung
emasnya itu diterjang banjir bandang pada tanggal 10 Maret 2011. Belasan desa
mengalami porak-poranda, ratusan rumah hancur dan 24 orang meninggal dunia.
Berselang
beberapa bulan kemudian, namun ditahun berbeda, Tangse kembali mengalami
musibah banjir. Kali ini, banjir diakibatklan oleh meluapnya aliran sungai
Krueng Inong, pada 25 Februari 2012. Sedikitnya 10 desa terkurung, 26 rumah
hanyut, puluhan titik badan jalan tertimbun, transportasi lumpuh, dan listrik
padam akibat tiang bertumbangan. Bencana Tangse tidak berkahir disitu, ditahun
selanjutnya daerah sejuk yang dikelilingi pegunungan yang ‘kataya’ kaya
kandungan emas itu masih saja tertimpa musibah. Bencana gempa terjadi pada
Januari dan Oktober ditahun 2013. Bencana tersebut juga tak sedikit menelan
korban. Ratusan anak kehilangan orang tuanya, mereka juga kehilangan rumahnya,
belum lagi, mereka kehilangan kesempatan belajar karena sekolah mereka ikut
menjadi korban ‘ganasnya’ bencana.
Selain itu,
mungkin masih segar diingatan kita ketika bencana gempa melanda tanah Gayo,
pada Juli 2013 lalu. Musibah gempa berkekuatan 6,2 Skala Richter (SR). Dampaknya,
hampir seribuan
infrastruktur mulai dari jalan, rumah, perkantoran hingga sekolah-sekolah
menjadi rusak. Belum lagi dengan ratusan kepala keluarga kehilangan tempat
tinggal, ratusan
anak kehilangan tempat bersekolah, puluhan orang meninggal dunia, dan hingga
saat ini sejumlah orang dinyatakan hilang.
Tsunami 26 Desember 2004
Sejak 26
Desember 2004 hingga saat ini dan bahkan mungkin sampai kapanpun, kita tidak
pernah bisa melupakan sebuah bencana besar yang melanda Bumi Serambi Mekkah. Tsunami.
Ya, begitu para ilmuan dan orang-orang menyebutnya. Sebuah kata yang berasal
dari bahasa Jepang yang artinya air bah besar atau gelombang pasang yang sangat
besar.
Usia saya
kala itu sekitar 7 tahun. Belum
banyak hal yang saya tahu. Namun dalam beberapa buku dan artikel di internet
yang saya baca, bencana itu merupakan salah satu bencana terdahsyat didunia.
Bencana itu menyebabkan ratusan ribu nyawa hanyut dan tewas seketika.
Kala itu,
disebuah pagi yang cerah dan indah. Puluhan ribu warga Aceh dan sejumlah wisatawan
yang mengunjungi Aceh sedang menikmati indahnya pagi pada hari itu, Minggu, 26
Desember 2014. Banyak warga memilih laut atau pantai sebagai lokasi yang tepat
untuk menghabiskan liburan. Namun tak sedikit juga mereka yang melakukan
berbagai pekerjaan dan hanya memilih bersantai dirumah masing-masing.
Tak ada yang
menduga. Pagi yang cerah itu dalam sekejap berubah menjadi suram. Orang-orang
menangis, berteriak dan ada juga yang berdoa dengan menyebut nama Allah hingga
tak terhitung berapa jumlahnya. Semuanya panik, gempa berkekuatan 8,9 SR sedang
menggoyang bumi para syuhada ini.
Tak hanya
itu, berselang beberapa menit kemudian setelah gempa mereda, malapetaka yang
lebih besar datang. Kali ini, air laut yang sempat surut dan mengering,
tiba-tiba datang dengan gulungan ombak yang begitu besar. Dahsyat, sungguh
dahsyat. Sejarah mengatakan puncak gelombang tsunami kala itu mencapai 30 meter
tingginya, dua kali lebih tinggi dari pohon kelapa yang ada dikampung halaman
saya, Lhokseumawe.
Air itu
menyusuri setiap sudut sejumlah daerah di Aceh. Ratusan ribu nyawa tewas.
Puluhan ribu bangunan hancur. Aceh berduka kala itu. Aceh dalam bingkai
kesedihan, Aceh menangis.
Sementara
itu, dalam rilis Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nasional yang
dikeluarkan bulan Desember 2012, sepanjang 2012 Indonesia diguncang oleh 730
bencana alam dengan korban jiwa sebanyak 487 orang. Jumlah pengungsi mencapai
675.798 orang dengan 33.847 rumah rusak yang terdiri dari 7.891 rumah rusak
berat, 4.587 rusak sedang, dan 21.369 rusak ringan. Bencana alam sepanjang 2012
didominasi oleh bencana hidrometeorologi seperti banjir, longsor, kekeringan,
dan puting beliung. Sementara puting beliung mengalami peningkatan jumlah di
tahun 2012 (Mongabay.co.id ).
Musibah demi
musibah, bencana demi bencana tak pernah jauh dari kita. Ia bisa datang dengan
sendirinya, namun juga terkadang kita yang mengundangnya. Banyak dari kita yang tidak menyadari,
jika bencana itu kadang terjadi akibat pola hidup dan tingkah laku kita.
Misalkan saja, membuang sampah sembarangan yang dapat menimbulkan akibat banjir. Penebangan
hutan secara ilegal, selain mengakibatkan kerusakan hutan, menipisnya lapisan
ozon, juga mengakibatkan datangnya banjir bandang. Bahkan juga perambahan hutan
tersebut mengundang turunnya sejumlah binatang buas seperti harimau dan juga
gajah ke pedesaaan. Dan itu bukan lagi hal yang tabu.
Semua itu
setidaknya mampu menyadarkan kita betapa pentingnya kita menjaga kelestarian
alam. Bersahabat dengan alam adalah satu-satunya cara agar bencana mau berdamai
dengan kita. Menjaga hutan, tidak membuang sampah sembarangan, tidak melakukan
illegal loging, adalah hal terbaik yang harus kita lakukan agar kita bisa hidup
untuk puluhan bahkan ratusan hingga ribuan tahun ke depan dan alam ini
dapat dinikmati dengan baik oleh anak dan cucu-cucu kita nantinya.
Pentingnya
kesadaran diri untuk saling menjaga alam. Dalam kasus banjir bandang Tangse misalkan,
betapa pentingnya kesadaran masyarakat akan pentingnya kawasan ekosistem hutan.
Tidak seharusnya
masyarakat melakukan pembalakan liar. Pemerintah harus lebih meningkatkan
kesadaran warga melalui sosialisasi kepada warga sekitar tentang bagaimana cara
menjaga ligkungan dengan baik dan benar, mengadakan pelatihan dan pembinaan
kepada warga sekitar, hingga mereboisasi kembali hutan yang sudah gundul.
Bencana
memang hanya akan membawa kesedihan, kepedihan, luka dan air mata. Tapi itu
merupakan proses yang harus kita lalui untuk menjadi lebih baik kedepan. Kita
dapat belajar dari peristiwa bencana yang sudah terjadi. Paling tidak, kita
dapat mempersiapkan diri untuk menghadapi bencana. bukan tidak mungkin kita bisa
menghindari bencana dan
mengurangi jumlah korban dengan cara tidak mengundang bencana itu sendiri.
Kita juga
harus mengenal lebih dekat dengan teguran dari sang pencipta tersebut. Bencana merupakan peringatan
kepada seluruh makhluk hidup terutama kita sebagai manusia untuk sadar akan
pentingnya kehidupan, arti pentingnya mencintai sesama, dan arti pentingnya
mencintai alam. selain mencegah, kita juga dapat mengenal tanda-tanda
akan datangnya sebuah bencana. Baik itu yang terjadi secara alamiah atau
bencana yang diakibatkan oleh perilaku buruk manusia.
Bencana itu seperti pencuri
yang datang tiba – tiba dan mengambil seluruh benda berharga yang kita
miliki, bencana itu seperti penculik
yang menculik orang – orang yang kita sayangi lalu membawanya pergi, bencana
juga seperti monster yang membuat anak – anak menjadi takut dan sulit untuk
melupakannya. Kalau kita ingin berdamai dengan bencana maka cintailah alam kita ini,
bersahabatlah dengan alam. Kalau kita mau berdamai dengan banjir, longsor,
gempa, tsunami dan lain-lain, maka kita juga harus bersahabat dengan hutan, sungai,
laut, hewan, dan seluruh isi alam ini. Kita
ambil satu contoh sederhana, mana mungkin orang lain akan sayang pada kita
kalau kita tidak sayang dan berlaku kasar padanya. Begitu juga dengan alam, bagaimana mungkin
alam akan mencintai kita kalau kita tidak mencintainya. Kalau kita mencintai
alam, maka alam pun akan mencintai kita, dengan begitu kita akan berdamai
dengan bencana.
*Penulis adalah Siswa Sekolah Menengah Atas (SMA)
Negeri 1 Lhokseumawe.
0 comments:
Post a Comment