Thursday, January 1, 2015

Juara 2 Karya Tulis

Bersahabat dengan Alam
Oleh: Andri Saputra Nasution
Bukan hal tabu lagi bagi kita. Banjir, tanah longsor, gempa bumi, hingga musibah tsunami yang namanya berasal dari bahasa Jepang itupun sudah tidak asing lagi. Kita semua menyebutnya bencana, musibah atau cobaan yang datangnya dari Tuhan.
Bencana atau musibah bisa datang kapan saja dan dimana saja. Biasanya bencana datang dikarenakan ada penyebab yang ‘memanggilnya’. Longsor misalnya, Bencana runtuhnya tanah dan kemudian menimpa rumah-rumah serta manusia itu biasanya datang akibat pengerukan tanah yang berlebihan. Pengerukan tanah dalam jumlah besar-besaran yang kemudian dimanfaatkan untuk pembuatan berbagai macam infrastruktur.
Lain lagi dengan banjir. Musibah meluapnya air dalam jumlah yang banyak ini juga datang dikarenakan ada penyebabnya. Misalnya, pembuangan sampah sembarangan hingga menghambat laju air, penebangan pohon secara liar di hutan-hutan dan berbagai macam penyebab lainnya.
Dampak Sebuah Bencana atau Musibah
Jika bencana terjadi, sudah pasti hanya kesedihan dan penyesalan yang akan datang. Banyak korban akan berjatuhan, puluhan bahkan ratusan rumah hancur lebur, akan banyak istri yang menjadi janda, banyak suami yang menjadi duda, banyak anak yang menjadi yatim piatu dan akan banyak anak – anak yang terancam tidak dapat melanjutkan sekolah karena bangunan sekolahnya rusak, akan banyak warga yang jatuh miskin karna kehilangan harta bendanya, seorang bapak yang terancam tidak bisa menafkahi keluarganya lagi, dan masih banyak lagi.
Harian lokal Serambi Indonesia, Rabu, 23 Oktober 2013, mengisahkan dampak sejumlah bencana yang terjadi di Tangse. Daerah yang terkenal dengan produksi padi dan gunung emasnya itu diterjang banjir bandang pada tanggal 10 Maret 2011. Belasan desa mengalami porak-poranda, ratusan rumah hancur dan 24 orang meninggal dunia.

Berselang beberapa bulan kemudian, namun ditahun berbeda, Tangse kembali mengalami musibah banjir. Kali ini, banjir diakibatklan oleh meluapnya aliran sungai Krueng Inong, pada 25 Februari 2012. Sedikitnya 10 desa terkurung, 26 rumah hanyut, puluhan titik badan jalan tertimbun, transportasi lumpuh, dan listrik padam akibat tiang bertumbangan. Bencana Tangse tidak berkahir disitu, ditahun selanjutnya daerah sejuk yang dikelilingi pegunungan yang ‘kataya’ kaya kandungan emas itu masih saja tertimpa musibah. Bencana gempa terjadi pada Januari dan Oktober ditahun 2013. Bencana tersebut juga tak sedikit menelan korban. Ratusan anak kehilangan orang tuanya, mereka juga kehilangan rumahnya, belum lagi, mereka kehilangan kesempatan belajar karena sekolah mereka ikut menjadi korban ‘ganasnya’ bencana.
Selain itu, mungkin masih segar diingatan kita ketika bencana gempa melanda tanah Gayo, pada Juli 2013 lalu. Musibah gempa berkekuatan 6,2 Skala Richter (SR). Dampaknya, hampir seribuan infrastruktur mulai dari jalan, rumah, perkantoran hingga sekolah-sekolah menjadi rusak. Belum lagi dengan ratusan kepala keluarga kehilangan tempat tinggal, ratusan anak kehilangan tempat bersekolah, puluhan orang meninggal dunia, dan hingga saat ini sejumlah orang dinyatakan hilang.
Tsunami 26 Desember 2004
Sejak 26 Desember 2004 hingga saat ini dan bahkan mungkin sampai kapanpun, kita tidak pernah bisa melupakan sebuah bencana besar yang melanda Bumi Serambi Mekkah. Tsunami. Ya, begitu para ilmuan dan orang-orang menyebutnya. Sebuah kata yang berasal dari bahasa Jepang yang artinya air bah besar atau gelombang pasang yang sangat besar.
Usia saya kala itu sekitar 7 tahun. Belum banyak hal yang saya tahu. Namun dalam beberapa buku dan artikel di internet yang saya baca, bencana itu merupakan salah satu bencana terdahsyat didunia. Bencana itu menyebabkan ratusan ribu nyawa hanyut dan tewas seketika.
Kala itu, disebuah pagi yang cerah dan indah. Puluhan ribu warga Aceh dan sejumlah wisatawan yang mengunjungi Aceh sedang menikmati indahnya pagi pada hari itu, Minggu, 26 Desember 2014. Banyak warga memilih laut atau pantai sebagai lokasi yang tepat untuk menghabiskan liburan. Namun tak sedikit juga mereka yang melakukan berbagai pekerjaan dan hanya memilih bersantai dirumah masing-masing.
Tak ada yang menduga. Pagi yang cerah itu dalam sekejap berubah menjadi suram. Orang-orang menangis, berteriak dan ada juga yang berdoa dengan menyebut nama Allah hingga tak terhitung berapa jumlahnya. Semuanya panik, gempa berkekuatan 8,9 SR sedang menggoyang bumi para syuhada ini.
Tak hanya itu, berselang beberapa menit kemudian setelah gempa mereda, malapetaka yang lebih besar datang. Kali ini, air laut yang sempat surut dan mengering, tiba-tiba datang dengan gulungan ombak yang begitu besar. Dahsyat, sungguh dahsyat. Sejarah mengatakan puncak gelombang tsunami kala itu mencapai 30 meter tingginya, dua kali lebih tinggi dari pohon kelapa yang ada dikampung halaman saya, Lhokseumawe.
Air itu menyusuri setiap sudut sejumlah daerah di Aceh. Ratusan ribu nyawa tewas. Puluhan ribu bangunan hancur. Aceh berduka kala itu. Aceh dalam bingkai kesedihan, Aceh menangis.
Sementara itu, dalam rilis Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nasional yang dikeluarkan bulan Desember 2012, sepanjang 2012 Indonesia diguncang oleh 730 bencana alam dengan korban jiwa sebanyak 487 orang. Jumlah pengungsi mencapai 675.798 orang dengan 33.847 rumah rusak yang terdiri dari 7.891 rumah rusak berat, 4.587 rusak sedang, dan 21.369 rusak ringan. Bencana alam sepanjang 2012 didominasi oleh bencana hidrometeorologi seperti banjir, longsor, kekeringan, dan puting beliung. Sementara puting beliung mengalami peningkatan jumlah di tahun 2012 (Mongabay.co.id ).
Musibah demi musibah, bencana demi bencana tak pernah jauh dari kita. Ia bisa datang dengan sendirinya, namun juga terkadang kita yang mengundangnya. Banyak dari kita yang tidak menyadari, jika bencana itu kadang terjadi akibat pola hidup dan tingkah laku kita. Misalkan saja, membuang sampah sembarangan yang dapat menimbulkan akibat banjir. Penebangan hutan secara ilegal, selain mengakibatkan kerusakan hutan, menipisnya lapisan ozon, juga mengakibatkan datangnya banjir bandang. Bahkan juga perambahan hutan tersebut mengundang turunnya sejumlah binatang buas seperti harimau dan juga gajah ke pedesaaan. Dan itu bukan lagi hal yang tabu.
Semua itu setidaknya mampu menyadarkan kita betapa pentingnya kita menjaga kelestarian alam. Bersahabat dengan alam adalah satu-satunya cara agar bencana mau berdamai dengan kita. Menjaga hutan, tidak membuang sampah sembarangan, tidak melakukan illegal loging, adalah hal terbaik yang harus kita lakukan agar kita bisa hidup untuk puluhan bahkan ratusan hingga ribuan tahun ke depan dan alam ini dapat dinikmati dengan baik oleh anak dan cucu-cucu kita nantinya.
Pentingnya kesadaran diri untuk saling menjaga alam. Dalam kasus banjir bandang Tangse misalkan, betapa pentingnya kesadaran masyarakat akan pentingnya kawasan ekosistem hutan. Tidak seharusnya masyarakat melakukan pembalakan liar. Pemerintah harus lebih meningkatkan kesadaran warga melalui sosialisasi kepada warga sekitar tentang bagaimana cara menjaga ligkungan dengan baik dan benar, mengadakan pelatihan dan pembinaan kepada warga sekitar, hingga mereboisasi kembali hutan yang sudah gundul.
Bencana memang hanya akan membawa kesedihan, kepedihan, luka dan air mata. Tapi itu merupakan proses yang harus kita lalui untuk menjadi lebih baik kedepan. Kita dapat belajar dari peristiwa bencana yang sudah terjadi. Paling tidak, kita dapat mempersiapkan diri untuk menghadapi bencana. bukan tidak mungkin kita bisa menghindari bencana dan mengurangi jumlah korban dengan cara tidak mengundang bencana itu sendiri.
Kita juga harus mengenal lebih dekat dengan teguran dari sang pencipta tersebut. Bencana merupakan peringatan kepada seluruh makhluk hidup terutama kita sebagai manusia untuk sadar akan pentingnya kehidupan, arti pentingnya mencintai sesama, dan arti pentingnya mencintai alam. selain mencegah, kita juga dapat mengenal tanda-tanda akan datangnya sebuah bencana. Baik itu yang terjadi secara alamiah atau bencana yang diakibatkan oleh perilaku buruk manusia.
Bencana itu seperti pencuri yang datang tiba – tiba dan mengambil seluruh benda berharga yang kita miliki,  bencana itu seperti penculik yang menculik orang – orang yang kita sayangi lalu membawanya pergi, bencana juga seperti monster yang membuat anak – anak menjadi takut dan sulit untuk melupakannya. Kalau kita ingin berdamai dengan bencana maka cintailah alam kita ini, bersahabatlah dengan alam. Kalau kita mau berdamai dengan banjir, longsor, gempa, tsunami dan lain-lain, maka kita juga harus bersahabat dengan hutan, sungai, laut, hewan, dan seluruh isi alam ini. Kita ambil satu contoh sederhana, mana mungkin orang lain akan sayang pada kita kalau kita tidak sayang dan berlaku kasar padanya. Begitu juga dengan alam, bagaimana mungkin alam akan mencintai kita kalau kita tidak mencintainya. Kalau kita mencintai alam, maka alam pun akan mencintai kita, dengan begitu kita akan berdamai dengan bencana.
*Penulis adalah Siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 1 Lhokseumawe.


0 comments:

Post a Comment